Nama :
Haifah Fauziah
NIM : 126738
BAHTRA
2012/C
Pokok Permasalahan Kajian Wacana
Ø Tindak
Tutur
Teori tindak tutur bermula pada karya buku Austin dan Searle
(dalam Ibrahim 1993:108). Bertolak dari pendapat tersebut, buku How to do
things with word (bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata) dengan
pengarang Austin dan Searle yang menyajikan makalah-makalah tindak tutur.
Dari pendapat di atas,
Ibrahim (1993:109) menguraikan definisi tindak tutur, tindak tutur adalah suatu
tuturan yang berfungsi pikologis dan sosial di luar wacana yang sedang terjadi.
Definisi Ibrahim terdapat perbedaan dengan Yule (2006:82) tindak tutur adalah
tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan tindak tutur memiliki fungsi piskologis dan sosial saat
berkomunikasi dan sebagai sarana untuk melakukan sesuatu melalui
tindakan-tindakan yang diucapkan lewat lisan.
Berkenaan dengan tindak tutur,
terdapat tindak tutur yang beragam sebagai berikut ini: Austin (dalam Rani,
2010:160-163) membagi tindak tutur, yaitu tindak lokusi (lotionary act), tindak
ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Bertolak dari pendapat di atas, diuraikan sebagai berikut:
a.
Tindak Lokusi
Tindak lokusi merupakan tindak yang menyatakan sesuatu
tetapi tindak tersebut tindak menuntut pertanggung jawaban dari lawan
tutur. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Ia mengatakan kepada
saya, “Jangan lagi ganggu dia”. Pada kalimat tersebut merupakan tuturan
lokusi, penutur menggunakan kalimat deklaratif, penutur menyatakan
sesuatu dengan lengkap pada saat ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan
tutur.
b. Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi memiliki maksud sebaliknya dari tindak
lokusi. Tindak ilokusi merupakan tindak yang mengatakan sesuatu dengan maksud
isi tuturan untuk meminta pertanggungjawaban dari penutur. Sebagai tindak tutur
dalam kalimat berikut: Besok saya tunggu di kampus A gedung A1.
Pada kalimat tersebut yaitu “Besok saya tunggu” merupakan tuturan ilokusi,
penutur menggunakan peryataan berjanji kepada lawan tutur. Peryataan berjanji
tersebut meminta pertanggungjawab penutur akan tindakan yang akan datang kepada
lawan tutur.
c.
Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak yang mempengaruhi kondisi
psikologis lawan tutur agar menuruti keinginan penutur. Sebagai tindak tutur
dalam kalimat berikut: Maaf, saya sangat sibuk. Kalimat tersebut
merupakan tuturan perlokusi, penutur mempengaruhi kondisi lawan tutur dengan
menggunakan peryataan memberi maaf yaitu pada kata “maaf”. Kata “maaf”
dituturkan penutur agar lawan tutur mengerti akan kondisi penutur bahwa ia
sangat sibuk, sehingga tidak bisa diganggu.
Berbeda dengan Austin, Searle (dalam Leech, 2011:163-166)
berpendapat membagi tindak tutur ilokusi berdasarkan berbagai criteria, yaitu
asertif, direktif, komisisf, ekspresif, dan deklaratif. Bertolak dari pendapat
tersebut jenis ilokusi dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Asertif
Tindak tutur yang terikat akan kebenaran proposisi yang
dituturkan, seperti, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan
pendapat, melaporkan.
b. Direktif
Tindak tutur yang menghasilkan suatu efek yang dituturkan
oleh penutur, seperti memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.
c.
Komisif
Tindak tutur yang terikat pada tindakan di masa yang akan
datang, seperti menjanjikan, menawarkan, berkaul.
d. Ekspresif
Tindak tutur tersebut terikat akan suatu tuturan yang
mengutarakan sikap psikologis secara tersirat, seperti, mengucapkan terima
kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan
belangsungkawa, dan sebagainya.
e.
Deklaratif
Tindak tutur tersebut merupakan tindak yang terikat aka nisi
proposisi dengan keadaan aslinya, benar atau salah, seperti mengundurkan diri,
membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang,
mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Ø Sosiolinguistik
Interaksional
Sosiolinguistik interaksional
ini berasal dari berbagai disiplin ilmu, yaitu didasarkan pada antropologi,
sosiologi, dan linguistik. Bagian-bagian yang menjadi perhatian ketiga
disiplin ilmu tersebut, yaitu budaya, sosial, dan bahasa.
Kontribusi dalam sosiolinguistik
interaksional ini diberikan oleh seorang
antropolog John Gumperz, yang
memberikan pemahaman tentang bagaimana orang bisa berbagai pengetahuan
gramatikal satu bahasa, akan tetapi berbeda kontks dengan apa yangdituturkan,
hal seperti itu sangat berbeda antara apa yang diproduksi dan apa yang
dipahami. Kontribusi juga diberikan oleh seorang sosiolog Erving Goffman
yang memberikan deskripsi tentang bagaimana bahasa ditempatkan pada lingkungan
kehidupan sosial tertentu, dan bagaimana bahasa merefleksikan, dan menambah,
makna dan struktur dalam lingkungan tersebut.
Ø Etnografi Komunikasi
Teori yang
digunakan dalam kajian ini adalah teori etnografi komunikasi yang dikembangkan
oleh Del Hymes. Suatu asumsi bahwa Bahasa dan situasi merupakan satu-kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Setiap ujaran selalu dikaitkan dengan situasi.
Ihwal ini, kemudian Dell Hymes (1972a:58—71) membedakan delapan unsur situasi
bahasa yakni 1) setting, 2) participant, 3) ends, 4) Act, 5) key, 6)
Instrumental, 7) Norms, 8) Genre. Kedelapan unsur tersebut diakronimkan menjadi
SPEAKING.
1. Setting didefinisikan sebagai waktu dan tempat peristiwa ujaran
(Gumperz & Hymes, 1972a:60). Setting berkaitan dengan lingkungan fisik
komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Situasi waktu misalnya pagi
hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Kemudian, tempat berkaitan dengan
situasi formal misalnya kantor, dan situasi informal misalnya rumah, jalan,atau
tempat-tempat umum. Setting ini akan berimplikasi pada bahasa yang digunakan.
2. Partisipants,Peran partisipan dalam peristiwa ujaran sangat penting.
(Chaundron, 1988:132-133; Numan, 1999:75; Thornbury, 1996:281-2). Partisipan
memiliki peran yang utama dalam peristiwa komunikasi. Partisipan berkaitan
dengan speaker, dan hearer serta referensi. Ketiga partisipan tersebut faktor
kunci dalam peristiwa komunikasi.
3. End (tujuan pembicaraan)
4. Act (bentuk dan isi ujaran)/(urutan tindakan)
5. Key (atmosfer dari suatu peristiwa pembicaraan yang dimunculkan dalam
bentuk verbal dan non verbal atau kombinasi (Coulthard, 1985:48-49). Hal karena
faktor budaya pembicara
6. Instrument (channel) : berupa oral, tertulis, dan media lainnya.
7. Norms (massage form) berupa etika atau kesantunan
8. Genre (massage content) yang mengacu pada topik dan perubahan topik
(Gumperz & Hymes, 1972:60). Yang dimaksud dengan Genre adalah teks yang
dipakai pada ranah-ranah tertentu misalnya: ranah politik, ranah pendidikan,
ranah ekonomi dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar